Kesimpulan mengenai peran Anda dalam menciptakan budaya positif di sekolah
dengan menerapkan konsep-konsep inti.
Membangun Budaya Positif di Sekolah
Penerapan budaya positif di sekolah memberikan banyak manfaat bagi
ekosistem sekolah. Karena dengan menciptakan lingkungan belajar yang
positif dan kondusif, kita tidak hanya membekali siswa dengan pengetahuan
akademik, tetapi juga menumbuhkan karakter, nilai-nilai, dan keterampilan
sosial yang akan berguna sepanjang hidup mereka. Namun yang menjadi
catatan dari saya adalah bahwa hal tersebut harus dilakukan dengan:
-
Berikan pemahaman. Pengalaman saya di kelas, suatu pembiasaan
hanya akan menjadi sebuah kegiatan yang sia-sia, apabila tidak disertai
dengan suatu pemahaman kepada anak didik tentang alasan mengapa mereka
harus melakukannya.
-
Konsisten dan berkesinambungan. Penerapan budaya
positif harus dilakukan tanpa terputus dan dilakukan terus menerus
sehingga menjadi suatu kebiasaan atau budaya baru.
-
Kontekstual dan Holistik. Disiplin positif juga selaiknya
dilakukan dengan dihubungkan dengan dunia nyata peserta didik, sehingga
mereka dengan mudah memahaminya.
-
Kolaborasi. Penerapan disiplin positif tanpa adanya
kolaborasi antara guru, siswa, orang tua, dan seluruh anggota komunitas
sekolah merupakan suatu hal yang mustahil untuk dapat diwujudkan. Setiap
individu memiliki peran yang sama pentingnya dalam menciptakan dan
mempertahankan budaya positif.
Konsep-konsep Inti
-
Disiplin Positif
Dalam penerapan disiplin positif, sekolah
atau guru lebih menekankan pada pencegahan masalah perilaku daripada
memberikan hukuman.
-
Motivasi perilaku manusia (hukuman dan penghargaan)
Dengan
usaha untuk memunculkan motivasi intrinsik, akan mendorong siswa untuk
belajar karena mereka merasa tertarik dan ingin tahu, bukan karena takut
pada hukuman atau menginginkan hadiah. Pemberian penghargaan (reward)
dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri siswa
namun yang perlu kita sadari bersama bahwa hadiah juga akan menjadi
suatu hukuman bagi mereka. Karena dapat menimbulkan rasa ketergantungan
dan juga persaingan yang tidak sehat antar peserta didik.
-
Posisi Kontrol Restitusi
Kita sebagai individu apalagi
seorang guru mempunyai posisi kontrol dimana hal tersebut sangat
berpengaruh kepada perkembangan siswa. Ketika kita dihadapkan dengan
permasalahan siswa, sebaiknya kita berposisi sebagai seorang manajer,
yang mana kita haruslah berfokus pada perbaikan dengan cara bantu mereka
untuk memahami dampak dari tindakan mereka dan mencari cara untuk
memperbaiki kesalahan, bukan dengan memberikan hukuman yang berdampak
negatif.
-
Keyakinan kelas
Dalam penerapan budaya positif dikelas,
untuk dapat memunculkan motivasi intrinsik dari siswa guru dapat
menggunakan keyakinan kelas, bukan peraturan kelas. Dengan penerapan
keyakinan kelas akan menimbulkan rasa memiliki pada siswa, karena dalam
pembuatannya mereka juga diikutsertakan dan menyepakati bersama seluruh
anggota kelas.
Dalam pembuatan keyakinan kelas diutamakan
menggunakan kalimat positif yang nantinya diharapkan menimbulkan efek
positif pula kepada peserta didik, diantaranya meningkatkan
motivasi serta menciptakan suasana yang menyenangkan.
-
Segitiga Restitusi
Dalam penyelesaian permasalahan pada
siswa, guru sebaiknya menggunakan metode Segitiga Restitusi, dimana
penyelesaian masalah berfokus bukan pada hukuman, melainkan pada proses
pembelajaran dan perbaikan diri. Adapun langkah-langkahnya adalah:
menstabilkan identitas, validasi tindakan salah, dan menanyakan
keyakinan.
Keterkaitannya dengan materi sebelumnya
1.1 Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara
Agar dapat mewujudkan pendidikan yang sesuai dengan cita-cita Ki Hadjar
Dewantara, yaitu membimbing setiap potensi anak, diperlukan sebuah
lingkungan pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai positif. Dalam budaya
positif tidak hanya tentang materi pelajaran, tetapi juga termasuk
lingkungan belajar, interaksi sosial, dan nilai-nilai yang dihormati di
sekolah. Dengan mengedepankan budaya positif, pendidikan difokuskan pada
murid dan sekolah tidak hanya menjadi tempat pengajaran ilmu pengetahuan,
tetapi juga sebagai wadah bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang
secara intelektual, emosional, serta sosial.
Guru memiliki peran sebagai penggerak dan pendamping, menciptakan
lingkungan kelas yang menyenangkan dan mendukung untuk belajar. Siswa
secara aktif berpartisipasi dalam membangun suasana positif di kelas.
Mitra sekolah dalam mendidik anak adalah peran yang dimainkan oleh orang
tua. Selain itu, sekolah dan komunitas juga dapat memberikan dukungan dan
sumber daya yang dibutuhkan.
1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak
Guru penggerak akan menjalankan peran mereka dengan lebih baik jika
memiliki pemahaman yang mendalam tentang budaya positif sebagai pondasi
yang kuat. Guru penggerak di sekolah dituntut untuk tidak hanya memiliki
penguasaan atas materi pelajaran, tetapi juga kemampuan dalam menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif dan inspiratif sebagai ujung tombak
perubahan. Dengan konsisten menerapkan konsep-konsep inti budaya positif,
guru penggerak dapat memberdayakan nilai-nilai seperti kerjasama,
introspeksi diri, kreasi baru, dan dukungan terhadap siswa.
Untuk mencapai visi pendidikan yang berpusat pada murid, guru penggerak
perlu memiliki pemahaman dan penerapan budaya positif sebagai kunci
keberhasilannya. Oleh karena itu, guru penggerak tidak hanya berperan
sebagai pengajar tetapi juga memegang peranan sebagai pemimpin
pembelajaran yang inspiratif dan mampu menghasilkan perubahan positif di
lingkungan sekolah.
1.3 Visi Guru Penggerak
Agar visi yang telah diajukan dapat terlaksana, seorang guru penggerak harus
mengedepankan budaya positif sebagai prinsip utama dalam semua tindakannya.
Guru penggerak yang mampu menciptakan lingkungan belajar yang positif dan
kondusif akan lebih mempermudah pencapaian visi yang inspiratif dan
inovatif. Bukan hanya kata-kata, tetapi budaya positif ini adalah tekad
untuk menciptakan lingkungan di mana setiap orang merasa dihormati dan
diberi kesempatan untuk berkembang.
Guru yang bergerak maju dengan visi kuat akan paham bahwa mencapai tujuan
tidak hanya tergantung pada kecakapan teknis, tetapi juga kemampuan untuk
membangun hubungan positif dengan siswa, rekannya, serta orang tua. Dengan
mengamalkan nilai-nilai budaya positif seperti saling menghargai, bekerja
secara kolaboratif, dan memiliki empati, guru motivator dapat membentuk
komunitas pembelajaran yang kuat.
Refleksi materi Modul Budaya Positif
1. Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang
telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: disiplin positif, teori
kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol
guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga
restitusi. Adakah hal-hal yang menarik untuk Anda dan di luar
dugaan?
Pengalaman belajar dari modul ini telah memperluas pengetahuan saya tentang
budaya positif di lingkungan sekolah. Akhirnya saya memahami bahwa budaya
positif ini terbentuk melalui kesepakatan nilai-nilai bersama dari seluruh
warga sekolah.
Untuk menciptakan budaya positif, disiplin yang positif menjadi faktor
utama. Konsep ini tidak sama dengan hukuman dan hadiah. Disiplin positif
memfokuskan pada rasa kesadaran diri serta tanggung jawab siswa. Dengan
memahami kebutuhan dasar siswa, kita dapat memberikan pengarahan kepada
mereka agar berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang telah disepakati.
Saya juga menyadari bahwa selalu ada alasan di balik setiap perilaku siswa.
Sebagai seorang guru, tugas saya adalah untuk membimbing siswa dalam
memahami kebutuhan mereka dan menemukan solusi yang sesuai tanpa melanggar
peraturan. Memberikan restitusi atau melakukan perbaikan kesalahan adalah
metode yang efektif dalam membentuk karakter siswa. Dengan menjadi
pendamping yang baik, kita bisa mendukung siswa dalam belajar dari kesalahan
dan mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka.
Sebelum mempelajari modul ini, saya seringkali mengadopsi pendekatan yang
lebih otoriter dalam menangani kesalahan siswa. Tetapi setelah mempelajari
konsep disiplin positif, kesadaran saya muncul bahwa pendekatan yang lebih
kolaboratif serta memberikan perhatian pada kebutuhan siswa akan memiliki
efektivitas yang lebih baik dalam menciptakan lingkungan belajar yang
positif.
2. Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam
menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah
mempelajari modul ini?
Setelah mempelajari modul ini, saya menyadari bahwa penting bagi kita untuk
mengubah paradigma dalam menilai siswa yang sering dianggap "gagal". Sebagai
gantinya, kita perlu melihat mereka sebagai individu yang memiliki
kesempatan untuk sukses. Dengan mengerti akan kebutuhan serta motivasi yang
menjadi penyebab di balik tindakan mereka, kita mampu memberikan arahan agar
mereka dapat membuat pilihan yang lebih tepat. Selain itu, perlu melibatkan
siswa dalam proses memperbaiki kesalahan mereka agar mereka merasa memahami
konsekuensi terhadap tindakan pribadi mereka.
3. Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait
penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di
lingkup kelas maupun sekolah Anda?
Pada mulanya, saya berusaha untuk menerapkan konsep budaya positif hanya
di dalam ruang kelas saya. Saya mulai dengan melibatkan siswa dalam proses
pembuatan kesepakatan kelas. Kami bersama-sama menentukan aturan yang
harus diikuti dan mengubahnya menjadi kalimat positif. Selanjutnya, kami
sepakat dan yakin dengan nilai-nilai yang ada dalam aturan tersebut.
Tetapi, dalam menerapkan kesepakatan kelas tersebut, saya menghadapi
berbagai tantangan. Terdapat murid yang melanggar peraturan, seperti
menggunakan bahasa kasar atau bertindak tidak sopan terhadap temannya.
Saat mencoba melakukan restitusi, siswa tersebut mengalami kesulitan dalam
memberikan usulan sendiri untuk memperbaiki kesalahannya. Mereka lebih
suka menunggu saya memberikan solusi.
Pengalaman ini sungguh membawa banyak pengajaran bagi saya. Saya tahu
bahwa melaksanakan disiplin positif itu sulit, terutama jika siswa belum
akrab dengan konsep ini. Namun, saya ingin terus meningkatkan diri dan
menemukan metode yang lebih efisien dalam membimbing siswa agar dapat
mengambil tanggung jawab atas perilaku mereka.
4. Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal
tersebut?
Saya sempat ragu dan khawatir ketika berusaha menerapkan konsep restitusi
untuk memperbaiki perilaku anak-anak di sekolah. Saya khawatir bahwa
tindakan saya dapat membuat siswa merasa bersalah dan seperti sedang selalu
diawasi oleh saya.
5. Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan
konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang
perlu diperbaiki?
Melalui pengalaman menerapkan konsep restitusi, saya telah memperoleh banyak
pengetahuan. Walaupun siswa telah sepakat dalam kelas, mereka tetap
membutuhkan waktu untuk benar-benar menginternalisasi dan menerapkan
nilai-nilai positif sehari-hari. Hal ini mengindikasikan bahwa kesabaran dan
proses yang kontinu diperlukan untuk membangun budaya positif di sekolah.
6. Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid,
berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda
pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul
ini, posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda
sekarang? Apa perbedaannya?
Baru-baru ini, saya menyadari bahwa sepanjang waktu ini saya cenderung
berperan sebagai "teman" daripada guru bagi siswa-siswa saya. Dalam
kenyataannya, pendekatan ini tidak terlalu efektif karena perubahan perilaku
siswa hanya tampak ketika mereka berada dalam kehadiran saya. Setelah
mempelajari berbagai posisi kontrol, saya menguji kemampuan saya sebagai
seorang "manajer" yang membimbing siswa dalam meningkatkan perilaku mereka
sendiri. Walaupun masih banyak yang harus dipelajari, saya merasa senang
melihat siswa mulai menunjukkan inisiatif untuk berubah tanpa perlu selalu
diingatkan oleh saya.
7. Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga
restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap
mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?
Sebenarnya, tanpa saya sadari, saya sudah melakukan beberapa langkah dari
segitiga restitusi sebelumnya meskipun belum familiar dengan istilah dan
teorinya. Contohnya, saat ada siswa yang tidak mengenakan seragam olahraga
lengkap, saya pernah menanyakan alasan mereka dan berusaha memahami
keadaannya. Saya juga pernah berbagi cerita saya sendiri hanya untuk
membuatnya lebih nyaman. Walaupun belum optimal, saya yakin tindakan yang
saya lakukan sudah dekat dengan langkah-langkah dalam segitiga restitusi
seperti menegakkan identitas dan memvalidasi tindakan. Tetapi, saya belum
dapat mengajukan pertanyaan tentang keyakinan karena kita masih belum
mencapai kesepakatan nilai bersama di kelas atau sekolah.
8. Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah
hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses
menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun
sekolah?
Untuk menciptakan lingkungan positif yang efektif, kita harus melibatkan tidak hanya siswa dan guru, tetapi juga orang tua dan komunitas di sekitar sekolah. Jika nilai-nilai yang diajarkan di sekolah berbeda dengan nilai-nilai yang diterapkan di rumah atau oleh teman sebaya, siswa mungkin merasa kebingungan dan kesulitan dalam menerapkan nilai-nilai positif.
Dalam menghadapi situasi semacam ini, siswa perlu belajar untuk mempergunakan nurani mereka untuk membedakan antara yang benar dan yang salah. Namun, penting bagi kita untuk mengajarkan kepada siswa cara mendengarkan serta mengikuti suara nurani mereka.